Selasa, 26 Januari 2010

Jangan Diratapi

Oleh : Fauzi Nugroho



Jam menunjukkan pukul 19.30 WIB, adik ipar saya menelpon bahwa Habib merasakan sesak di dadanya, setelah kembali dari acara Haul di Palembang pada Senin sore. Lalu pada pukul 22.00 (10 malam), beliau masuk di salah satu rumah sakit di Bandar Lampung. Ketika di rumah sakit dan setelah pamitan kepada keluarga dan kerabat yang hadir disitu. Menjelang ajalnya, beliau berkata, "jangan menangis, Abah sudah dijemput. Itu mereka sudah datang".

Sesaat suasana menjadi hening dan terdengar isak tangis, bahkan ada keluarga yang berkata Abah jangan berkata yang tidak-tidak. Lalu Abah melanjutkan dzikirnya, dan di penghujung nafasnya beliau masih mengucap, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Tepat pukul 2.30 dini hari Selasa 15 Desember lalu, beliau meninggal dunia dengan senyum di wajahnya yang masih membekas hingga saya memandikan dan jenazah di bungkus kain kafan. Subhanallah.

Ya, beliau adalah mertua saya (Abah) yang meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Tanpa didahului dengan sakit yang menahun, kecuali rasa sesak di dadanya, beliau pergi meninggalkan kami semua, dengan senyum simpul menghiasi wajahnya yang telah pucat pasi.

Sebulan kemudian, tepatnya Sabtu lalu saya juga mendapat kabar dan takzi'ah ke rumah rekan sejawat yang putranya meninggal dunia. Almarhum meninggal karena kecelakaan tunggal seminggu setelah ulang tahunnya. Usianya relatif muda, 26 tahun dan baru akan menyelesaikan S1-nya pada medio tahun ini. Tanpa sakit dan melalui musabab kecelakan, anak muda itu dipanggil keharibaan-Nya.

Begitulah episode kehidupan, lahir - tumbuh - mati. Usia seseorang adalah misteri/ghaib, dan bukan jaminan bahwa tua mudanya seseorang menentukan saat kematiannya - apakah itu anak-anak, orang muda, atau manula, kematian pasti akan datang menghampiri. Manusia tidak boleh merasa jauh dari kematian walaupun saat ini sehat wal afiat - sesak dada atau kecelakaan misalnya, cukup menjadi lantaran sebuah kematian.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman, "Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan"." (QS. Al Jumu'ah, 62:8).

Salah satu hikmah dari peristiwa meninggalnya seorang anak manusia yang terkesan mendadak di mata kebanyakan orang mengandung maksud agar kita senantiasa terjaga untuk menghadapi kematian. Berbuat baik setiap saat adalah tuntutan implikasinya. Tidak ada kata "Tidak", katakan jika hari ini pun Allah SWT panggil kita untuk menghadap-Nya, maka tiada alasan dan kuasa manusia untuk menolaknya, karena Dia Pemilik dan Yang Maha Kuasa.

Selain hal di atas, peristiwa yang sering terlihat dan terjadi dalam setiap musibah kematian adalah tangisan. Apakah seseorang tidak boleh menangis ketika sanak keluarga atau karib kerabatnya meninggal dunia?. Beberapa wasiat yang Habib atau mertua saya sampaikan, salah satunya adalah jangan ditangisi. Beliau tidak menginginkan kematiannya ditangisi apalagi diratapi.

Sebagian orang beranggapan akan tega sekali atau dinilai tak memiliki peri kemanusiaan jika mendengar atau melihat orang yang dicintai meninggal - lalu orang tersebut tidak menangis. Nalar umum beranggapan demikian, seolah tangisan adalah wujud empati. Jika kita ditanya kenapa saat mendapatkan bayi terlahir manusia begitu bergembira, lalu mengapa ketika anak manusia diambil kembali oleh pemilik-Nya harus menangis?. Bukankah anak kita asalnya tiada kembali kepada ketiadaan?. Cukup banyak dalil yang mengingatkan hal itu, mulai dari masalah tangisan hingga ratapan.

Dari Abu Burdah dari ayahnya yang berkata, "Ketika Umar ditikam, maka Shuhaib berteriak, 'Oh saudaraku!' Maka Umar berkata, Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya seorang mayit akan diadzab karena tangisan orang yang hidup," (HR Bukhari [1290] dan Muslim [930], dalam Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali (2008).

Namun ada hadits lain dari kumpulan Hadits Shahih Al Bukhari, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. : Sa'd bin Ubadah sakit dan Rasulullah Saw bersama dengan Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas'ud mengunjunginya untuk bertanya perihal sakit yang dideritanya. Nabi Muhammad SAW bertanya, "apakah ia telah meninggal?" mereka berkata, "belum, wahai Rasulullah". Nabi Muhammad Saw meneteskan air mata.

Nabi Muhammad Saw bersabda, "maukah kau mendengarkan? Allah tidaklah menghukum karena air mata yang berlinang begitu pula hati yang berduka. Allah menghukum karena `ini' atau karena melimpahkan rahmat-Nya". Nabi Muhammad Saw menunjuk lidahnya dan menambahkan, "orang yang meninggal diazab karena ratapan kerabatnya terhadapnya".

Meratapi jenazah memang tidak diperbolehkan, Islam melarang segala bentuk kesedihan berlebihan yang dapat mengeluarkan seorang dari iman. Misalnya menampar pipi sendiri, merobek-robek pakaian, menabur-naburkan pasir atau tanah ke atas kepala, dan mengeluarkan ucapan-ucapan tidak pantas yang justru menyakitkan hati dan menambah kesedihan.

Meratap adalah perbuatan orang jahiliah. Perbuatan ini bertentang dengan kesabaran yang selalu diperintahkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". (QS. Al Baqarah, 2:155-156).

Barangkali orang akan menyangka seseorang gila, bila ia memaknai hakekat kematian sebagai peristiwa yang menggembirakan. Sebaliknya sedikit manusia, termasuk para sufi yang justru beranggapan sebagai suatu peristiwa yang menyenangkan karena akan bertemu dengan Sang Kekasih, yang Asma-Nya senantiasa disebut-sebut dalam setiap shalat maupun dzikir mereka. Menurut Islamic Proverb, "This world is the believer's prison and the unbeliever's paradise".

Kematian adalah pintu masuk ke alam lain, dan jalan menuju kehidupan abadi. Bagaimana mungkin seseorang akan masuk syurga jika belum mengalami kematian?. Bahkan menurut Abu Hafidzh Al-Faruq (2009), kematian akan menyenangkan bagi orang yang mengalami kematian karena dia berharap bakalan masuk syurga, dan menyenangkan bagi orang orang yang ditinggal mati karena tahu orang yang mereka cintai akan masuk syurga.

Manusia memang bukan Malaikat, bahkan nabi pun pernah meneteskan air mata seperti ketika salah seorang sahabat, yaitu Sa'd bin Ubadah sakit. Hanya saja dalam banyak hadits hal yang jelas-jelas dilarang adalah meratapi mayit. Sedangkan ikhwal menangis, masih perlu dikaji lagi hadits-hadits yang berkaitan dengan hal tersebut.

Namun jika kita bersikap "wara", ada baiknya jika tidak menangis, walaupun hati sedih ataupun berduka tak terelakkan. Hal tersebut seperti ditegaskan dalam ayat di atas, yakni berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.

Bagi saudara-saudara kita yang mungkin belum mengetahui, Allah Maha Pengampun, dan Dia tidak pernah menganiaya dan membebani orang-orang yang belum tahu. Semoga goresan kecil ini menjadi pengingat bagi saya maupun kita semua, bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Bagi keluarga yang tertimpa musibah, janji-Nya pasti datang, bahwa jika kita sabar dan ikhlas, maka sesudah kesempitan pasti aka datang kelapangan, seperti kabar gembira yang telah difirmankan oleh-Nya. Amin (fn).

Tidak ada komentar: